Thursday, September 5, 2013

Monitoring Sintilasi Ionosfer Di Indonesia
Oleh : Asnawi
Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi

Ionosfer adalah bagian atas atmosfer bumi yang berion. Kerapatan elektron di ionosfer pada ketinggian dan lokasi tertentu bergantung pada fluks sinar ultra violet kuat, komposisi muatan netral dan dinamika angin netral serta medan listrik. Dinamika dan perubahan kerapatan ion dan elektron di ionosfer bervariasi sebagai respon adanya perubahan cuaca antariksa. Pengamatan ionosfer adalah bagian dari pengamatan cuaca antariksa karena perubahan ion, elektron dan arus medan listrik di ionofer menjadi indikator perubahan cuaca antariksa. Lapisan ionofer akan merespon setiap perubahan cuaca antariksa yang dipicu dari aktivitas matahari, seperti kemunculan flare, CME dan partikel berenergi tinggi yang dibawa oleh angin matahari yang masuk pada system magnetofer dan ionosfer sehingga memicu badai geomagnet dan juga badai ionofer.


Gambar 1. Sinyal satelit yang meliwati ionosfer terganggu dapat fluktuasi pada sinyal satelit

Gangguan pada ionosfer dapat menyebabkan masalah yang pada aplikasi gelombang radio seperti radio komunikasi, sistem navigasi satelit sehingga penelitian gangguan ionosfer menjadi subjek yang penting dalam kontribusi riset cuaca antariksa. Sebelum sinyal satelit mencapai bumi, maka sinyal tersebut harus melalui ionosfer dimana ionosfer yang banyak mengandung ion-ion dan elektron akan memantulkan, membelokan bahkan melemahkan gelombang radio dari satelit tersebut. Ionosfer terganggu akan menyebabkan gangguan pada putaran faraday sinyal dan sinyal juga mengalami fluktuasi secara cepat pada amplitudo dan fasa yang diterima di receiver akibat ketidakteraturan kerapatan elektron medium ionosfer. Fluktuasi ini dikenal sebagai sintilasi ionosfer.
Penelitian gangguan sintilasi ionosfer pada sinyal satelit telah dimulai tahun 1970.  Sampai saat ini telah banyak  penelitian dan metode yang dikembangkan untuk penelitian sintilasi ionosfer salah satunya adalah dengan memanfaatkan sinyal satelit GPS (Global Postioning System). Sinyal satelit GPS pada pita frekuensi L (1,5 GHz) dimanfaatkan untuk kajian perubahan kerapatan ionosfer, jumlah elektron total ionosfer (TEC, Total Electron Content) dan sintilasi ionosfer.  Fenomena sintilasi memiliki keterkaitan dengan kemunculan gelembung plasma yang terjadi setelah matahari terbenam. Proses fisis kemunculan gelembung plasma adalah ketidakstabilan Rayleigh-Taylor. Sedangkan proses kimianya dikontrol dari efek rekombinasi antara elektron dan ion positif, yang menyebabkan terjadinya gradien vertikal profil kerapatan elektron saat setelah matahari terbenam. Apabila ketidastabilan terus berlanjut maka dapat memicu  bagian bawah lapisan F ionosfer yang telah berkurang kerapatannya bergerak ke bagian atas yang lebih rapat. Fenomena pergerakan ini dikenal sebagai gelembung plasma. Saat terjadi gelembung plasma maka akan terjadi gradien keraptan elektron yang cukup tajam di ionosfer sehingga menyebabkan ketidakteraturan ionosfer dari skala kecil hingga menengah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa gelembung pada plasma adalah identik dengan penurunan kerapatan elektron. Ketidakteraturan plasma akibat terbentuknya gelembung tersebut akan menyebabkan fluktuasi pada sinyal satelit yang melewatinya sehingga terjadi sintilasi.

Monitoring Sintilasi ionosfer
Pengamatan fenomena gangguan sintilasi ionosfer dilakukan dengan peralatan GISTM (GPS Ionospheric Scintillation and TEC Monitor) yaitu penerima GPS yang ditempatkan di Loka dan Balai pengamat dirganta milik LAPAN.


Gambar 2. Sistem perima GPS (GISTM) dan PC pemroses data yang digunakan untuk monitoring sintilasi ionosfer

Beberapa Loka dan Balai pengamat dirgantara  LAPAN serta stasiun pengamat dirgantara kerjasama antara LAPAN dan Universitas  telah dipasang GPS untuk monitoring sintilasi ionosfer diantaranya adalah Kototabang Sumatra Barat, Bandung, Pontianak, Manado (kerjasama UNSRAT-LAPAN) dan Kupang (kerjasama UNDANA-LAPAN). Lokasi dari GISTM ditunjukkan pada gambar 3. Dengan distribusi letak GISTM ini maka monitoring diharapkan dapat mencakup seluruh wilayah Indonesia. Beberapa stasiun pengamat dirgantara tersebut telah terhubung jaringan internet via VPN sehingga distribusi data dapat dilakukan dengan mudah.
 Gambar 3. Distribusi  letak GISTM dan lintasan satelitnya di seluruh wilayah Indonesia

Pengamatan kemunculan sintilasi dilakukan untuk setiap sinyal satelit yang visible dalam satu hari. Grafik pada gambar 4 adalah contoh indeks sintilasi dari 30 satelit (PRN) selama satu hari pengamatan yaitu pada tanggal 30 Maret 2012.  Setiap sinyal satelit yang ditangkap penerima GPS dalam satu hari pengamatan diberi tanda dan warna yang berbeda sehingga dapat diketahui dengan mudah sinyal satelit mana saja yang mengalami sintilasi ionosfer. Gambar 4 adalah contoh dimana kemunculan sintilasi pada kategori kuat dengan indeks S4 > 0.5. Sintilasi kuat terjadi sekitar pukul 13:00 hingga  18:00 UT atau sekitar pukul 20:00 WIB hingga pukul 01:00 WIB dini hari.  Dalam rentang waktu tersebut beberapa sinyal satelit mengalami sintilasi yaitu satelit (PRN) 4,7,11,13 dan 23.


Gambar 4. Kemunculan sintilasi kuat S4> 0.5 yang terjadi pada 30 Maret 2012  jam 19:00 – 01:00 WIB

Marfologi Sintilasi ionosfer

Untuk melihat marfologi dan karakteristik kemunculan sintilasi maka data satu tahun pengamatan dibuat dalam bentuk kontur. Dari kontur dapat dilihat perubahan kemunculan sintilasi pada setiap bulan berbanding dengan bulan lainnya. Hasil pengamatan dalam satu tahun yaitu dari bulan Januari hingga bulan Desember dalam bentuk kontur ditunjukkan pada gambar 5.  Dari gambar 5, adalah contoh kemunculan sintilasi dalam satu tahun pengamatan di Loka Kototabang tahun 2012 dimana sintilasi kuat muncul dominan  pada bulan ekuinok yaitu Maret - April dan September - Oktober.
Gambar 5. Kemunculan sintilasi ionosfer selama satu tahun pengamatan dengan kemunculan tertinggi di bulan ekuinok Maret dan September

            Peningkatan kemunculan sintilasi pada bulan ekuinoks terkait dengan terminator matahari dan meridian medan magnet yang terbentuk pada bulan-bulan tersebut. Formasi medan magnet dan terminator matahari menyebabkan arus drift dynamo EXB di lapisan F dearah ekuator sehingga meningkatkan ketidakteraturan plasma. Ketidakteraturan ini terkait juga dengan meningkatnya gelembung plasma pada bulan-bulan tersebut sehingga sintilasi intens pada bulan-bulan tersesbut.

Memonitor dan memahami ionosfer adalah hal yang cukup penting, karena ionosfer adalah bagian dari cuaca antariksa. Selain itu dengan memonitor ionosfer akan diperoleh  karakteristik dan marfologinya sehingga diperoleh informasi perubahan ionosfer dan dinamikannya yang dapat membantu dalam mitigasi gangguan pada sinyal radio maupun navigasi satelit serta pemodelannya.


Sunday, January 13, 2013


Sintilasi Ionosfer

Ionosfer dengan kandungan elektron dan ion didalamnya dapat mempengaruhi penjalaran sinyal satelit yang menuju ke penerima di bumi. Perubahan kandungan elektron dan ion di ionosfer dipengaruhi aktivitas matahari. Aktivitas matahari yang tinggi akan menyebabakan gangguan di ionosfer semakin tinggi. Gangguan pada ionosfer dapat menyebabkan masalah yang pada aplikasi gelombang radio seperti radio komunikasi, sistem navigasi satelit dan cuaca antariksa sehingga penelitian gangguan ionosfer menjadi subjek yang penting dalam kontribusi riset cuaca antariksa. Sinyal radio dari satelit saat melewati yang ionosfer terganggu akan menyebabkan gangguan pada putaran faraday sinyal dan sinyal juga mengalami fluktuasi secara cepat pada amplitudo dan fasa yang diterima di receiver akibat ketidakteraturan kerapatan elektron medium ionosfer. Fluktuasi ini dikenal sebagai sintilasi ionosfer.


Gambar 1. Skema sinyal satelit GPS yang mengalami sintilasi ionosfer. Kesalahan jarak posisi navigas disebabkan gangguan sinitlasi ionosfer dan sinyal fading pada sistem penerima GPS. (sumber:www.doncio.navy.mil/chips)


Gangguan sinyal satelit akibat kemunculan sintilasi ionosfer ini telah dilaporkan diantaranya dapat menyebabkan fading pada power sinyal, cycle slip, loss of lock dimana penerima kesulitan melakukan penguncian sinyal dan lainnya. Kajian tentang fenomena gangguan sintilasi ionosfer telah dilakukan dengan band frekuensi mulai dari VHF, UHF, L band hingga K band. Daerah dengan kemunculan sintilasi ionosfer yang paling tinggi adalah daerah ekuator dengan karakateristik yang khas, sehingga sering dikenal sebagai fenomena sintilasi ionosfer ekuatorial. Gambar 2 menunjukkan hasil penelitan kemunculan gangguan sintilasi pada band L yang memperlihatkan daerah kutub dan daerah equator memiliki tingkat sintilasi yang tinggi terutama pada saat aktivitas matahari maksimum.

Gambar 2. Kemunculan sintilasi ionosfer pada band frekuensi L pada aktivitas maksimum dan minimum matahari dimana daerah ekuator memiliki kemunculan yang tinggi.
         Sumber (www.http://roma2. rm.ingv.it)

Indeks sintilasi ionosfer
            Untuk menyatakan gangguan sintilasi ionosfer maka indeks sintilasi ionosfer yang saat ini sudah lazim digunakan adalah indeks S4 dan σϕ  yang masing-masing menyatakan intensitas amplitudo sintilasi dan fasa sintilasi yang berpengaruh pada penerima GNSS. Indeks sintilasi S4 adalah simpangan baku intensitas sinyal yang diterima sinyal pada interval waktu tertentu (biasanya selama 60 detik). Demikian juga dengan indeks fasa sintilasi σϕ adalah simpangan baku dari detrend fasa dari gelombang pembawa dalam interval waktu 60 detik. Ganggauan sintilasi dengan indeks S4 lebih dari 0,5 sudah memperlihatan gangguan yang serius berdampak pada sistem komunikasi satelit. Gambar 3 adalah contoh hasil monitoring sintilasi ionosfer yang dilakukan oleh LAPAN Bandung yang menunjukkan kemunculan sintilasi ionosfer dengan indeks S4 yang melebihi 0,5 dari beberapa satelit GPS yang mengalami sintilasi ionosfer. Warna dalam gambar 3 menujukkan ciri dari satelit GPS tertentu. Data diambil dari pengamatan di Bandung tanggal 26 September 2012.


Gambar3. Contoh hasil monitoring sintilasi ionosfer (indeks S4) yang menunjukkan gangguan dengan indeks lebih dari 0,5 pada sekitar jam 19:00 waktu lokal dari pengamatan di Bandung tanggal 26 September 2012.

Dari contoh gambar 3 tersebut maka dapat diketahui satelit mana saja yang mengalami sintilasi ionosfer dan juga dapat diketahui pada posisi mana satelit tersebut sehingga dapat dilakukan manajemen, seleksi satelit ataupun penjadwalan pengukuran untuk menghindari dampak gangguan sintilasi ionosfer pada pengukuran posisi menggunakan navigasi satelit GNSS.
Wilayah dirgantara Indonesia terletak di daerah ekuatorial sehingga kajian yang intensif serta monitoring fenomena gangguan sintilasi merupakan kegiatan penelitian yang penting yang saat ini terus dilakukan oleh LAPAN. Hasil penelitian dari kajian tentang fenomena sintilasi ekuatorial ini diharapkan dapat memahami karakteristik kemunculan sehingga diperoleh pemetaan gangguan dan diperoleh juga model gangguan. Hasil monitoring melaporkan bahwa kemunculan sintilasi ionosfer lebih tinggi pada bulan-bulan ekuinoks yaitu bulan Maret dan September pada setiap tahunnya. Kemunculannya akan meningkat pada siklus maksimum dari aktivitas matahari. Sampai saat ini LAPAN terus melakukan kajian fenomena gangguan sintilasi ionosfer dengan memasang penerima GPS/ GNSS di beberapa balai dan loka pengamat dirgantara yang dimiliki oleh LAPAN. Metode pemetaan dan pemodelan gangguan ionosfer sedang dikembangkan dimana hasil kajian ini diharapkan dapat digunkan oleh operator satelit serta pengguna lainya yang sangat memerlukan informasi cuaca antariksa umumnya dan gangguan ionosfer khususnya.