Thursday, September 5, 2013

Monitoring Sintilasi Ionosfer Di Indonesia
Oleh : Asnawi
Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi

Ionosfer adalah bagian atas atmosfer bumi yang berion. Kerapatan elektron di ionosfer pada ketinggian dan lokasi tertentu bergantung pada fluks sinar ultra violet kuat, komposisi muatan netral dan dinamika angin netral serta medan listrik. Dinamika dan perubahan kerapatan ion dan elektron di ionosfer bervariasi sebagai respon adanya perubahan cuaca antariksa. Pengamatan ionosfer adalah bagian dari pengamatan cuaca antariksa karena perubahan ion, elektron dan arus medan listrik di ionofer menjadi indikator perubahan cuaca antariksa. Lapisan ionofer akan merespon setiap perubahan cuaca antariksa yang dipicu dari aktivitas matahari, seperti kemunculan flare, CME dan partikel berenergi tinggi yang dibawa oleh angin matahari yang masuk pada system magnetofer dan ionosfer sehingga memicu badai geomagnet dan juga badai ionofer.


Gambar 1. Sinyal satelit yang meliwati ionosfer terganggu dapat fluktuasi pada sinyal satelit

Gangguan pada ionosfer dapat menyebabkan masalah yang pada aplikasi gelombang radio seperti radio komunikasi, sistem navigasi satelit sehingga penelitian gangguan ionosfer menjadi subjek yang penting dalam kontribusi riset cuaca antariksa. Sebelum sinyal satelit mencapai bumi, maka sinyal tersebut harus melalui ionosfer dimana ionosfer yang banyak mengandung ion-ion dan elektron akan memantulkan, membelokan bahkan melemahkan gelombang radio dari satelit tersebut. Ionosfer terganggu akan menyebabkan gangguan pada putaran faraday sinyal dan sinyal juga mengalami fluktuasi secara cepat pada amplitudo dan fasa yang diterima di receiver akibat ketidakteraturan kerapatan elektron medium ionosfer. Fluktuasi ini dikenal sebagai sintilasi ionosfer.
Penelitian gangguan sintilasi ionosfer pada sinyal satelit telah dimulai tahun 1970.  Sampai saat ini telah banyak  penelitian dan metode yang dikembangkan untuk penelitian sintilasi ionosfer salah satunya adalah dengan memanfaatkan sinyal satelit GPS (Global Postioning System). Sinyal satelit GPS pada pita frekuensi L (1,5 GHz) dimanfaatkan untuk kajian perubahan kerapatan ionosfer, jumlah elektron total ionosfer (TEC, Total Electron Content) dan sintilasi ionosfer.  Fenomena sintilasi memiliki keterkaitan dengan kemunculan gelembung plasma yang terjadi setelah matahari terbenam. Proses fisis kemunculan gelembung plasma adalah ketidakstabilan Rayleigh-Taylor. Sedangkan proses kimianya dikontrol dari efek rekombinasi antara elektron dan ion positif, yang menyebabkan terjadinya gradien vertikal profil kerapatan elektron saat setelah matahari terbenam. Apabila ketidastabilan terus berlanjut maka dapat memicu  bagian bawah lapisan F ionosfer yang telah berkurang kerapatannya bergerak ke bagian atas yang lebih rapat. Fenomena pergerakan ini dikenal sebagai gelembung plasma. Saat terjadi gelembung plasma maka akan terjadi gradien keraptan elektron yang cukup tajam di ionosfer sehingga menyebabkan ketidakteraturan ionosfer dari skala kecil hingga menengah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa gelembung pada plasma adalah identik dengan penurunan kerapatan elektron. Ketidakteraturan plasma akibat terbentuknya gelembung tersebut akan menyebabkan fluktuasi pada sinyal satelit yang melewatinya sehingga terjadi sintilasi.

Monitoring Sintilasi ionosfer
Pengamatan fenomena gangguan sintilasi ionosfer dilakukan dengan peralatan GISTM (GPS Ionospheric Scintillation and TEC Monitor) yaitu penerima GPS yang ditempatkan di Loka dan Balai pengamat dirganta milik LAPAN.


Gambar 2. Sistem perima GPS (GISTM) dan PC pemroses data yang digunakan untuk monitoring sintilasi ionosfer

Beberapa Loka dan Balai pengamat dirgantara  LAPAN serta stasiun pengamat dirgantara kerjasama antara LAPAN dan Universitas  telah dipasang GPS untuk monitoring sintilasi ionosfer diantaranya adalah Kototabang Sumatra Barat, Bandung, Pontianak, Manado (kerjasama UNSRAT-LAPAN) dan Kupang (kerjasama UNDANA-LAPAN). Lokasi dari GISTM ditunjukkan pada gambar 3. Dengan distribusi letak GISTM ini maka monitoring diharapkan dapat mencakup seluruh wilayah Indonesia. Beberapa stasiun pengamat dirgantara tersebut telah terhubung jaringan internet via VPN sehingga distribusi data dapat dilakukan dengan mudah.
 Gambar 3. Distribusi  letak GISTM dan lintasan satelitnya di seluruh wilayah Indonesia

Pengamatan kemunculan sintilasi dilakukan untuk setiap sinyal satelit yang visible dalam satu hari. Grafik pada gambar 4 adalah contoh indeks sintilasi dari 30 satelit (PRN) selama satu hari pengamatan yaitu pada tanggal 30 Maret 2012.  Setiap sinyal satelit yang ditangkap penerima GPS dalam satu hari pengamatan diberi tanda dan warna yang berbeda sehingga dapat diketahui dengan mudah sinyal satelit mana saja yang mengalami sintilasi ionosfer. Gambar 4 adalah contoh dimana kemunculan sintilasi pada kategori kuat dengan indeks S4 > 0.5. Sintilasi kuat terjadi sekitar pukul 13:00 hingga  18:00 UT atau sekitar pukul 20:00 WIB hingga pukul 01:00 WIB dini hari.  Dalam rentang waktu tersebut beberapa sinyal satelit mengalami sintilasi yaitu satelit (PRN) 4,7,11,13 dan 23.


Gambar 4. Kemunculan sintilasi kuat S4> 0.5 yang terjadi pada 30 Maret 2012  jam 19:00 – 01:00 WIB

Marfologi Sintilasi ionosfer

Untuk melihat marfologi dan karakteristik kemunculan sintilasi maka data satu tahun pengamatan dibuat dalam bentuk kontur. Dari kontur dapat dilihat perubahan kemunculan sintilasi pada setiap bulan berbanding dengan bulan lainnya. Hasil pengamatan dalam satu tahun yaitu dari bulan Januari hingga bulan Desember dalam bentuk kontur ditunjukkan pada gambar 5.  Dari gambar 5, adalah contoh kemunculan sintilasi dalam satu tahun pengamatan di Loka Kototabang tahun 2012 dimana sintilasi kuat muncul dominan  pada bulan ekuinok yaitu Maret - April dan September - Oktober.
Gambar 5. Kemunculan sintilasi ionosfer selama satu tahun pengamatan dengan kemunculan tertinggi di bulan ekuinok Maret dan September

            Peningkatan kemunculan sintilasi pada bulan ekuinoks terkait dengan terminator matahari dan meridian medan magnet yang terbentuk pada bulan-bulan tersebut. Formasi medan magnet dan terminator matahari menyebabkan arus drift dynamo EXB di lapisan F dearah ekuator sehingga meningkatkan ketidakteraturan plasma. Ketidakteraturan ini terkait juga dengan meningkatnya gelembung plasma pada bulan-bulan tersebut sehingga sintilasi intens pada bulan-bulan tersesbut.

Memonitor dan memahami ionosfer adalah hal yang cukup penting, karena ionosfer adalah bagian dari cuaca antariksa. Selain itu dengan memonitor ionosfer akan diperoleh  karakteristik dan marfologinya sehingga diperoleh informasi perubahan ionosfer dan dinamikannya yang dapat membantu dalam mitigasi gangguan pada sinyal radio maupun navigasi satelit serta pemodelannya.


Sunday, January 13, 2013


Sintilasi Ionosfer

Ionosfer dengan kandungan elektron dan ion didalamnya dapat mempengaruhi penjalaran sinyal satelit yang menuju ke penerima di bumi. Perubahan kandungan elektron dan ion di ionosfer dipengaruhi aktivitas matahari. Aktivitas matahari yang tinggi akan menyebabakan gangguan di ionosfer semakin tinggi. Gangguan pada ionosfer dapat menyebabkan masalah yang pada aplikasi gelombang radio seperti radio komunikasi, sistem navigasi satelit dan cuaca antariksa sehingga penelitian gangguan ionosfer menjadi subjek yang penting dalam kontribusi riset cuaca antariksa. Sinyal radio dari satelit saat melewati yang ionosfer terganggu akan menyebabkan gangguan pada putaran faraday sinyal dan sinyal juga mengalami fluktuasi secara cepat pada amplitudo dan fasa yang diterima di receiver akibat ketidakteraturan kerapatan elektron medium ionosfer. Fluktuasi ini dikenal sebagai sintilasi ionosfer.


Gambar 1. Skema sinyal satelit GPS yang mengalami sintilasi ionosfer. Kesalahan jarak posisi navigas disebabkan gangguan sinitlasi ionosfer dan sinyal fading pada sistem penerima GPS. (sumber:www.doncio.navy.mil/chips)


Gangguan sinyal satelit akibat kemunculan sintilasi ionosfer ini telah dilaporkan diantaranya dapat menyebabkan fading pada power sinyal, cycle slip, loss of lock dimana penerima kesulitan melakukan penguncian sinyal dan lainnya. Kajian tentang fenomena gangguan sintilasi ionosfer telah dilakukan dengan band frekuensi mulai dari VHF, UHF, L band hingga K band. Daerah dengan kemunculan sintilasi ionosfer yang paling tinggi adalah daerah ekuator dengan karakateristik yang khas, sehingga sering dikenal sebagai fenomena sintilasi ionosfer ekuatorial. Gambar 2 menunjukkan hasil penelitan kemunculan gangguan sintilasi pada band L yang memperlihatkan daerah kutub dan daerah equator memiliki tingkat sintilasi yang tinggi terutama pada saat aktivitas matahari maksimum.

Gambar 2. Kemunculan sintilasi ionosfer pada band frekuensi L pada aktivitas maksimum dan minimum matahari dimana daerah ekuator memiliki kemunculan yang tinggi.
         Sumber (www.http://roma2. rm.ingv.it)

Indeks sintilasi ionosfer
            Untuk menyatakan gangguan sintilasi ionosfer maka indeks sintilasi ionosfer yang saat ini sudah lazim digunakan adalah indeks S4 dan σϕ  yang masing-masing menyatakan intensitas amplitudo sintilasi dan fasa sintilasi yang berpengaruh pada penerima GNSS. Indeks sintilasi S4 adalah simpangan baku intensitas sinyal yang diterima sinyal pada interval waktu tertentu (biasanya selama 60 detik). Demikian juga dengan indeks fasa sintilasi σϕ adalah simpangan baku dari detrend fasa dari gelombang pembawa dalam interval waktu 60 detik. Ganggauan sintilasi dengan indeks S4 lebih dari 0,5 sudah memperlihatan gangguan yang serius berdampak pada sistem komunikasi satelit. Gambar 3 adalah contoh hasil monitoring sintilasi ionosfer yang dilakukan oleh LAPAN Bandung yang menunjukkan kemunculan sintilasi ionosfer dengan indeks S4 yang melebihi 0,5 dari beberapa satelit GPS yang mengalami sintilasi ionosfer. Warna dalam gambar 3 menujukkan ciri dari satelit GPS tertentu. Data diambil dari pengamatan di Bandung tanggal 26 September 2012.


Gambar3. Contoh hasil monitoring sintilasi ionosfer (indeks S4) yang menunjukkan gangguan dengan indeks lebih dari 0,5 pada sekitar jam 19:00 waktu lokal dari pengamatan di Bandung tanggal 26 September 2012.

Dari contoh gambar 3 tersebut maka dapat diketahui satelit mana saja yang mengalami sintilasi ionosfer dan juga dapat diketahui pada posisi mana satelit tersebut sehingga dapat dilakukan manajemen, seleksi satelit ataupun penjadwalan pengukuran untuk menghindari dampak gangguan sintilasi ionosfer pada pengukuran posisi menggunakan navigasi satelit GNSS.
Wilayah dirgantara Indonesia terletak di daerah ekuatorial sehingga kajian yang intensif serta monitoring fenomena gangguan sintilasi merupakan kegiatan penelitian yang penting yang saat ini terus dilakukan oleh LAPAN. Hasil penelitian dari kajian tentang fenomena sintilasi ekuatorial ini diharapkan dapat memahami karakteristik kemunculan sehingga diperoleh pemetaan gangguan dan diperoleh juga model gangguan. Hasil monitoring melaporkan bahwa kemunculan sintilasi ionosfer lebih tinggi pada bulan-bulan ekuinoks yaitu bulan Maret dan September pada setiap tahunnya. Kemunculannya akan meningkat pada siklus maksimum dari aktivitas matahari. Sampai saat ini LAPAN terus melakukan kajian fenomena gangguan sintilasi ionosfer dengan memasang penerima GPS/ GNSS di beberapa balai dan loka pengamat dirgantara yang dimiliki oleh LAPAN. Metode pemetaan dan pemodelan gangguan ionosfer sedang dikembangkan dimana hasil kajian ini diharapkan dapat digunkan oleh operator satelit serta pengguna lainya yang sangat memerlukan informasi cuaca antariksa umumnya dan gangguan ionosfer khususnya.







Tuesday, July 31, 2012

MONITORING DAN MODELING IONOSFER


Komunitas amatir radio atau Ham Radio sedikit banyak pasti mengenal ionosfer, karena mereka tahu bahwa sinyal radio dipantulkan oleh lapisan ionosfer sehingga terjadi komunikasi. Pada saat terjadi gangguan di ionosfer, maka keberhasilan komunikasi juga terganggu. Namun demikian tidak sedikit yang belum mengatahui bahwa gangguan tersebut akibat dari badai matahari dan cuaca antariksa. Ionosfer juga mempengaruhi sistem navigas berbasis satelit seperti GPS dan GNSS lainnya. Sebelum sinyal satelit mencapai bumi, maka sinyal tersebut harus melalui ionosfer dimana ionosfer yang banyak mengandung ion-ion dan elektron akan memantulkan, membelokan bahkan melemahkan gelombang radio dari satelit tersebut. Badai matahari dapat mengganggu kerapatan ion ion dan elektron di lapisan ionosfer sehingga  menyebabkan gangguan pada sistem navigasi dan terjadi keselahan posisi hingga 100 meter. Memonitor dan memahami ionosfer adalah hal yang cukup penting, karena ionosfer adalah bagian dari cuaca antariksa. Selain itu dengan memonitor ionosfer akan diperoleh  karakteristik dan marfologinya sehingga diperoleh informasi perubahan ionosfer dan dinamikannya yang dapat membantu dalam mitigasi gangguan pada sinyal radio maupun navigasi satelit serta pemodelannya.
   Sistem navigasi dan penentuan posisi berbasis satelit sangat bergantung pada kondisi cuaca antariksa terutama dinamika di lapisan ionosfer karena sinyal yang di pancarkan oleh satelit navigasi harus melalui ionosfer. Tunda (delay) ionosfer adalah sumber terbesar penyebab kesalahan pengukuran posisi dengan GPS. Secara konvensional tunda (delay) ionosfer dapat dikurangi dengan kombinasi dua frekuensi (menggunakan GPS frekuensi ganda), dengan metode diferensial atau dengan menggunakan model tunda ionosfer untuk pengguna GPS frekuensi tunggal seperti model Klobuchar. Namun demikian dalam kondisi ekstrim dari gangguan ionosfer, kesalahan pengukuran posisi cukup signifikan.
Pengaruh ionosfer pada pengukuran posisi GPS dapat dibedakan dari dua aspek. Aspek pertama adalah pada saat terjadi gangguan ionosfer yang sangat besar dimana model ionosfer konvensional tidak akan mampu mengoreksi kesalahan akibat gangguan ionosfer tersebut. Namun demikian model ionosfer tetap diperlukan untuk melihat besarnya simpangan parameter ionosfer terhadap keadaan normalnya. Aspek kedua adalah perubahan amplitude dan phase sinyal GPS yang disebabkan gangguan ionosfer secara periodik akibat perubahan radiasi matahari dan perubahan medan geomagnet musiman. Perubahan amplitude dan phase sinyal akan menurunkan performa penerima GPS.
Sebagai komponen dari cuaca antariksa maka ionosfer akan merespon setiap perubahan cuaca antariksa dimana perubahan tersebut berdampak pada propagasi sinyal radio satelit yang melewatinya. Ion dan elektron yang terkandung di dalamnya menyebabkan ionosfer menjadi medium yang dispersive terhadap gelombang radio sehingga terjadi tunda atau delay pada sinyal radio satelit dan hal ini menjadi sumber pada kesalahan pengukuran sistem navigasi satelit. Pengamatan ionosfer secara terus menerus adalah upaya untuk mendapatkan informasi karakteristik perubahan ionosfer yang dikaitkan dengan perubahan cuaca antariksa. Perubahan tersebut meliputi perubahan harian, musim, lokasi dan dampak dari aktivitas matahari sebagai komponen cuaca antariksa terhadap ionosfer. Riset dan investigasi prilaku ionosfer menggunakan data GPS telah dimulai sejak tahun 1980.  Dari kajian yang telah dilakukan oleh peneliti ionosfer bahwa hampir 99% delay ionosfer  pada GNSS dapat dijelaskan dengan integral kerapatan elektron sepanjang sinyal GNSS dari penerima ke satelit yang berbanding terbalik dengan kwadrat frekuensi sinyal satelit. Pengukuran ionosfer menggunakan GPS adalah untuk mendapatkan informasi bias yang diakibatkan oleh ionosfer yang dalam hal ini dikarakteristikan dengan kandungan elektron total (TEC). Data TEC ionosfer yang diamati menggunakan GPS telah dikumpulkan dan dapat dianalisis untuk pemodelan ionosfer yang digunakan untuk pengguna GPS dan GNSS lainnya. Pemodelan ionosfer telah berkembang dan banyak pendekatan algoritma telah dilakukan, diantaranya adalah model empirik yang berbasis pada set data pengamatan baik data global maupun regional. Jenis lain adalah model ionosfer yang berbasis analisis beberapa parameter ionosfer yang dikenal sebagai model analitikal. Sebagian besar model yang telah dibuat adalah untuk mendapatkan karakteristik, sifat dan klimatologi dari ionosfer dan variasinya terhadap waktu, musim, siklus matahari dan aktivitas geomagnet. Salah satu contoh model ionosfer yang penggunaan sudah sangat meluas saat ini adalah model IRI 2007 (Ionospheric Reference International). Dari model ini dapat diperoleh profil median bulanan parameter ionosfer seperti; keraptan elektron, temperature elektron, temperature ion, komposisi ion dan TEC pada kondisi ionosfer tenang. Input model adalah waktu, lokasi (lintang dan bujur), parameter aktivitas matahari (bilangan bintik matahari, fluks matahari) dan parameter indeks geomagnet. Secara lengkap model ini dapat dilihat di laman http://iri.gsfc.nasa.gov. Sumber utama data yang digunakan untuk membangun model adalah ionosonda yang tersebar di seluruh dunia ditambah dengan data dari pengamatan radar, roket dan top sounder lainnya. Model ini terus di perbaharui pada setiap tahunnya. Model yang dibahas dalam hal ini adalah model berbasis pengukuran dengan GPS yaitu bagaimana memodelkan pengukuran TEC dengan GPS. TEC sebagai parameter ionosfer dari pengukuran GPS mempunyai satuan TEC unit dimana 1 TEC unit adalah 1016 elektron/m2 yang dapat menyebabkan kesalahan sebesar 0.16 meter pada pengkuruan sinyal L1 dan 0.26 meter pada pengukuran dengan sinyal L2. Pada dasarnya algoritma yang akan dibangun untuk pemodelan TEC dari pengukuran GPS meliputi tiga hal yaitu bagaimana mendapatkan TEC ionosfer dari pengukuran kode dan fase frekuensi sinyal GPS, memisahkan bias dari satelit dan penerima dan hubungan spasial dari setiap pengukuran.  Gagasan utama dari pemodelan ionosfer menggunakan GPS adalah untuk meningkatkan solusi ketelitian pengukuran posisi yang diperoleh dari pengukuran GPS frekuensi tunggal dan juga frekuensi ganda. Model Klobuchar adalah suatu set koefisien polinomial (ada 8 koefisien) yang dikirimkan kepada pengguna GPS melalui pesan navigasi adalah model ionosfer yang pertama dibangun untuk meningkatkan ketelitian pengukuran GPS frekuensi tunggal dengan mereduksi bias yang disebabkan oleh ionosfer dalam 50 %.  Pada prinsipnya model klobuchar memodelkan group delay (waktu tunda) akibat ionosfer dengan menggunakan fungsi kosinus dengan menganggap bahwa maksimum delay ionosfer terjadi pada jam 14:00 dan ditulis dalam bentuk polinomial adalah:


                                               Tg=dc+A[1+ x^2/2+x^4/4], \x\ < phi/2
                                                x=  2phi(t-Tp)/ P  (radian)
Dengan                                   
A dan P adalah koefisien yang dikirimkan lewat pesan navigasi dari setelit GPS, t adalah waktu lokal, dc adalah konstan offset dan Tp adalah konstan fasa, dimana dc dan Tp bergantung karakteristik ionosfer di tempat tersebut.

Gambar hasil pengukuran GPS frekuensi tunggal dengan koreksi dan tanpa koreksi menggunakan model klobuchar
Selain menggunakan model klobuchar peningkatan akurasi dapat menggunakan informasi data TEC yang tersedia.  Untuk informasi data TEC, LAPAN telah melakukan studi dan membangun model TEC regional Indonesia yang disebut sebagai model MSILRI (Model Sederhana Ionosfer Lintang Rendah Indonesia). Model ini berbasis pengamatan ionosonda dan GPS yang berada di regional Indonesia, Australia, Singapura dan Philipina. Perubahan setiap jam dari parameer TEC dalam median bulanan dapat dilihat di laman web LAPAN Bandung yaitu di http://iontelkom.dirgantara-lapan.or.id/content/peta-total-electron-content-tec. Peta ini dapat dijadikan rujukan bagi pengukuran GPS frekuensi tunggal sehingga sedikit banyak dapat membantu dalam interpretasi posisi yang diperoleh saat pengukuran dengan menggunakan GPS frekuensi tunggal. Pemodelan TEC ionosfer masih terus dikembangkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Gambar peta TEC dari model MSILRI yang dikembangkan oleh LAPAN Bandung

Sistem Navigasi dan Posisi


Navigasi adalah suatu tindakan menempatkan atau mengarahkan kendaraan (kapal, pesawat, mobil dan lain-lain) ke tempat yang diinginkan. Umumnya kendaraan berat seperti kapal laut dan pesawat udara memerlukan system navigasi untuk membantu mendapatkan arah atau posisi yang diinginkan.  Sistem  navigasi sebagai alat bantu (biasanya berupa system elektronik) dapat diletakan dalam kendaraan  atau diletakan di tempat lain dengan menggunakan komunikasi via radio atau dengan kombinasi dari kedua-duanya. Sistem navigasi mampu menyediakan informasi berupa peta dengan tampilan yang mudah dibaca dengan format teks atau format grapik. Informasi yang disediakan berupa posisi kendaraan, arah, kecepatan, kondisi lalulintas dengan alternative pilihan arah dan informasi keberadaan kendaraan lain yang berada di sekitar kendaraan tersebut. 

Ada banyak jenis system navigasi, tapi yang paling popular adalah system navigasi global berbasis satelit. Motivasi awal dari navigasi dengan satelit adalah untuk keperluan militer dalam mengarahkan senjata pada sasaran dengan ketelitian yang tinggi sehingga menghindari jatuhnya korban akibat salah sasaran. Sistem navigasi global dengan satelit yang ada di dunia pada saat ini adalah; Global Positioning System (GPS) Amerika serikat, Global Navigation Satellite System (GLONASS) Rusia, Compass navigation system (Compass) Cina dan Galileo satellite navigation (Galileo) Eropa. Secara lengkap system navigasi global berbasis satelit yang ada di dunia saat ini dan perbandingan jumlah satelit yang digunakan serta system kode sinyal dan frekuensi yang digunakan ditunjukkan dalam table.
Dari keempat system navigasi satelit tersebut yang paling popular penggunaanya adalah  GPS.  GPS menggunakan satelit dan computer untuk menentukan posisi dengan pengukuran jarak dari beberapa satelit GPS (minimal 4 satelit) di angkasa. Penggunaan GPS sudah sangat meluas baik sipil maupun militer dengan ukuran receiver dan antenna yang semakin kecil serta kemampuan yang semakin canggih untuk membantu navigasi dan penentuan posisi. Namun demikian kemampuan penentuan posisi dan navigasi dari system GPS tidak luput dari gangguan atmosfer bumi (ionosfer dan troposfer) karena sinyal satelit GPS yang dikirimkan ke receiver di bumi harus melewati media atmosfer. Penelitian gangguan ionosfer terhadap GPS telah dilakukan oleh LAPAN, yaitu monitoring ionosfer dengan menempatkan  receiver GPS di stasiun bumi yang dimiliki oleh LAPAN. Dengan kajian yang intensif gangguan akibat dinamika ionosfer terhadap GPS dapat meningkatkan akurasi pengukuran dengan GPS.

Aplikasi Perpaduan GPS dan SONAR untuk medeteksi/ mencari ikan


Bagaimana cara kerja GPS agar dapat menyediakan informasi lokasi ikan yang akurat bagi nelayan pancing dan pemancing rekreasi ataupun olahraga. Teknologi GPS sebagai alat bantu navigas saat ini telah berkembang pesat salah satunya GPS dapat men-trak kumpulan ikan sehingga diperolah tangkapan yang besar. Pada awal-awal sebelum teknologi GPS digunakan, pencarian ikan dilakukan dengan menandai tempat dan jalur tertentu dimana terdapat banyak ikan pada kertas/ map yang selanjutnya dapat gunakan kembali pada hari-hari berikutnya. Nelayan kemudian berpindah ke daerah lain dengan tetap manandai jalur atau tempat yang banyak terdapat ikan

Dengan adanya teknologi GPS jalur dan tempat-tempat tangkapan dapat direkam dengan mudah dan nelayan juga dapat menseting GPS agar mereka tidak tersasar sampai keluar batas laut sehingga memasuki wilayah laut negara lain. Namun demikian terkadang akurasi GPS menjadi sasaran kesalahan karena informasi posisi yang diberikan oleh GPS ternyata meleset bahkan terkadang  nelayan harus berhadapan dengan aparat dari negara lain karena dianggap telah memasuki wilayah laut mereka.   Kesalahan akurasi GPS sangat erat kaitannya dengan cuaca antariksa terutama dinamika di lapisan ionosfer karena sinyal GPS yang melawati lapisan ionosfer akan mengalami gangguan terutama saat terjadi badai ionosfer.

fish finder GPS, pada prinsipnya adalah merupakan suatu perpaduan radar portable dengan alat bantu navigasi GPS. Jenis radar yang digunakan adalah  teknologi sonar (sound navigation and ranging) yang memanfaatkan gelombang suara untuk mendeteksi objek di bawah laut. Berdasarkan spesifikasi dan jenisnya maka sonar ini dapat mendisplay objek-objek tertentu yang berada di bawah kapal/ boat. Bagaimana alat ini bekerja? Fish finder bekerja dengan cara memancarkan gelombang suara ke dalam air. Ketika gelombang tersebut membentur suatu objek maka akan dipantulkan ke fish finder yang selanjutnya pantulan tersebut diterima, diolah dan diterjemahkan menjadi data.  Secara garis besar bagian-bagian dari alat ini adalah, transmiter yang akan memancarkan gelombang suara (sound pulse), tranduser, receiver, layar monitor dan GPS.
Transmitter  membangkitkan pulsa elektrik dan dikirim ke transduser.

Transducers akan menerima impuls elektrik dari transmiter dan mengubahnya menjadi pulsa dalam frekuensi suara dan memancarkannya ke dasar laut. Pantulan dari objek-objekt yang berada dalam air, seperti batu/ karang, ikan dan benda lain akan diterima oleh receiver. Selanjutnya receiver akan menghitung waktu yang diperlukan oleh pulsa suara untuk kembali dan diproses  sebagai informasi yang ditampilkan di layar monitor. GPS akan membantu menentukan letak geografis dari posisi kapal, lokasi ikan-ikan serta merekam/ menandai spot atau tempat jalur yang banyak terdapat ikan, daerah-daerah dengan karang atau batuan terjal yang berbahaya sebagai peta dan informasi yang dapat digunakan pada hari berikutnya. Seperti disebut diawal bahwa akurasi pengukuran GPS terutama yang hanya menggunakan satu frekuensi dipengaruhi oleh dinamika ionosfer karena sinyal GPS harus melalui ionosfer untuk sampai ke penerima di bumi. Koreksi kesalahan pengukuran GPS dapat dilakukan dengan menggunakan informasi delay ionosfer yang disediakan oleh LAPAN sebagai satu-satunya lembaga penelitian yang mengkaji dinamika ionosfer di Indonesia.